Setelah ku letakan handphone, tiba-tiba otak ini mulai berfikir ke sana kemari tentang bagaimanakah sosok bunga itu sendiri? Aku lupa menanyakannya, dia ialah Bunga sahabat dari mantan-kekasih ku, tapi Bunga yang seperti apa? Ah, biarlah toh nanti pun akan bertatap muka dengannya.
Semakin lama ku berfikir, semakin banyak pula ingatan-ingatan yang tergali dan semua ingatan tentang mantan-kekasih ku tiba-tiba muncul seakan-akan menjadi suatu kenyataan yang dapat ku ulang. Ah, Ku jadi ingat masa-masa ku masih bersama kekasih ku itu. Masa-masa yang indah, Masa-masa yang membahagiakan, Masa-masa yang penuh keterbatasan, Masa-masa yang membuat tersenyum, tertawa, dan menangis. Masa-masa yang membuat hati tak ingin diisi oleh wanita lain, sungguh masa-masa itu membuat ku seperti ingin kembali lagi ke sana.
Mengingat kenangan itu jadi mengingatkan ku pada suatu tanggal. Tanggal 25 Oktober, tanggal yang mewakili hari jadinya Sekolah Menengah Atas Negri 7 Bogor, dan pada tanggal itu pula aku pertama kali berjumpa dengan dia. Sewaktu itu hari Minggu, beberapa kegiatan diselenggarakan dan kegiatan yang paling mencuri banyak perhatian orang ialah perlombaan baris-berbaris. Bagi ku, semua kegiatan yang ada di sana tidaklah menarik tapi aku menyengajakan diri tuk hadir di sana pada hari itu. Ku tak ingin melihat perlombaan, ku tak ingin terjun ke dalam keramaian dan sungguh aku tidak menyengajakan diri tuk mencari seseorang gadis, sungguh ku tak ingin.
Semua yang ku ingin ialah sekedar melepas rindu ku ini akan hangatnya kasih sayang yang diberikan oleh guru-guru ku tercinta yang masih setia mengabdikan diri nya tuk mengajar generasi-generasi penerus. Terkadang sikap kami melewati batas tapi mereka slalu sabar menyelesaikan ulah yang kami perbuat, membimbing kami, selalu ikhlas merelakan kepergian kami. Mereka tak menginginkan balasan atas apa yang mereka berikan, melihat kami berhasil saja sudah membuat mereka terharu bahagia, bagaimana jika lebih dari itu? Sungguh aku sungguh sayang kalian wahai para guru ku, tidak, bukan hanya guru ku tapi seluruh guru yang ada di seluruh negri ini, sungguh aku sayang pada kalian semua.
Sepasang kaki ku sangat bersemangat tuk melangkah masuk dan seakan-akan berkata: “Ayo iqbal kita masuk, tunggu apa lagi? Kami sudah tidak sabar tuk merasakan aroma sekolah yang sudah lama tak kita jumpai” ketika badan ku berada di depan gerbang depan sekolah. Ah memang sudah lama aku tak ke sini, mungkin sudah satu setengah tahun lamanya. Mungkin karena aku tak ada waktu atau mungkin semua keangkuhan ku yang membuat seakan-akan waktu ku habis, entah yang mana tapi yang jelas aku sudah lama tidak ke sini.
Ku masuki halaman sekolah yang penuh dengan pepohonan ini. Sekolah ini memang hijau dengan pepohonan, saking banyaknya pepohonan sekolah ini dijuluki sebagai Green School di Bogor. Aroma sejuknya tdk berubah, semua wangi dedaunan ini masi sungguh terasa. Ku lihat seorang satpam tua yang masih bekerja di sana, ku tatap wajahnya dan dia menatap ku, tampa sadar wajah ku memberi senyuman ke padanya dan dia membalas senyuman ku dengan hangat. Ku lihat sekeliling ku, ku tengok sebelah kanan dan sebelah kiri ku dan “akh.... itu dia mereka! Pak Aris, Pak Ace dan siapa satu lagi itu?” ucap ku pelan-pelan.
Mereka masih seperti dulu, sama persis seperti pada saat aku lulus dulu dari sana. Pak Aris tetap berpakaian dengan santai, Kaos oblong dan celana jeans menjadi pasangan pakaian favoritnya. Maklum dia ialah guru olah raga, jadi ku rasa gaya perpakaiannya pun tak usah terlalu formal seperti yang lainnya. Pak Ace masih terlihat tampan dan gagah dengan pakaian dinas khas guru yang dikenakannya, potongan rambutnya pun masih sama seperti dulu, tapi siapa yang satu lagi? Dia pria hitam manis, potongan rambut pendek, dan tak memakai pakaian dinas khas guru seperti pak Ace. Aku kenal semua guru olah raga yang ada pada SMA ku ini, yang satu ialah pak Aris dan yang satu lagi ialah pak Dedi. Berdasarkan ciri-cirinya, tak seperti ciri-ciri yang ada pada pak Dedi, tapi dia siapa? Ah, lebih baik ku perhatikan dari dekat saja. “pak Rudi!!” mulut ku tampa sadar mengucapkan hal itu, ternyata itu pak rudi! Guru yang mengajar pada bidang komputer!
Perlahan-lahan kedua kaki ini melangkah mendekati mereka dan “Assalammu’alaikum!!” sapa ku kepada mereka yang sedang asik mengobrol dan ku ciumi tangan mereka satu-persatu.
“Wa’alaikum salam, waduh.... kedatangan siapa nih, rasanya bapak kenal deh. Kamu tuh alumni SMA ini kan? Nama kamu tuh siapa ya, bapak sedikit lupa?” Pak Aris membalas perkataan ku dan menepuk-nepuk pundak ku dengan tangan kanannya.
“Ya, bapak masa ga kenal saya? Saya kan pernah bermasalah dengan pelajaran olah raga pak! masa bapak lupa sih dengan saya?”
“Ia bapak inget, muka kamu bapak kenal, tapi bapak lupa nama kamu itu. Kamu itu anak yang suka maen komputer itu kan?”
“Itu bapak inget saya. Coba tebak pak, siapa nama saya?”
“hmm.... bentar, kamu itu irbal kan?”
“wah salah! Saya iqbal pak, jawaban bapak hampir benar. Hebat-hebat walopun udah lama tapi bapak masi bisa inget, wlo pun cuman dikit hehe.”
Saya dan pak Aris pun berbincang-bincang tentang banyak hal. Mulai dari masalah-masalah baru yang ditemui olehnya di sekolah, prestasi-prestasi baru yang diraih oleh siswa sampai mengapa diadakan acara seperti sekarang ini di sekolah.
“Tak.. tak.. tak” detik-detik waktu terus berjalan. Lima belas menit, setengah jam, sampai satu jam lebih tak terasa tlah ku isi dengan perbincangan tentang kabar sekolah satu tahun kebelakang. Tampilan jam pada handphone menunjukan pukul 13.00 siang hari, sungguh tak terasa kini telah memasuki siang hari.
Satu jam lebih terus mengeluarkan suara membuat tenggorokan terasa sangat kering. Ingin ku putuskan beranjak senejenak meninggalkan pak Aris guna membeli minuman tuk kembali menyegarkan saluran tenggorokan yang telah kering ini, tapi tak jadi ku lakukan karena takut pak Aris akan beranjak dari tempatnya kini jika tidak ada yang sudi menjadi lawan bicaranya lagi. Ketika ada sapaan dari teman lama, pandangan ku terlihkan dari pak Aris menuju asal suara. Ku balas sapaan teman-lama ku itu dan tampa sengaja ku lihat sekumpulan gadis yang sedang berjalan menuju Hall, tempat dimana perlombaan baris-berbaris dilaksanakan.
Diantara sekumpulan gadis-gadis yang sedang berjalan, kudapati sepasang mata sedang memperhatikan ku dengan seksama dan tampa sadar seluruh pandangan ku ini seakan-akan terkunci tuk terus melihat ke arahnya. Satu, dua, tiga, kira-kira sampai tiga detik pandangan ku dan pandangan dia seakan-akan menyatu, saling memperhatikan dan akhirnya ku putuskan tuk memberi sebuah senyuman pada dirinya. Tak tahu apa yang ada dalam dirinya, dia menutup mukanya dengan cardigan , tiba-tiba dia memalingkan pandangannya dan berpura-pura bertanya pada gadis lain yang ada di sebelahnya. Aduhai, sungguh indah cara dia menatap ku, Aduhai sungguh indah paras wajahnya yang dihadapkan ke pada ku ini, sungguh indah gaya dia berjalan, semuanya indah dan seluruh keindahan itu seakan menyejukan seluruh gurun yang kering serta menyuruh diri ku ini tuk terus memperhatikan langkah-langkahnya.
“Hey bal! Gimana sekarang kuliah mu?” pertanyaan pak Aris membuyarkan perhatianku yang tertuju kepada gadis itu.
“Alhamdulillah lancar pak, sekarang mah saya ga pernah nakal kayak di SMA lagi pak. Saya kan udah gede sekarang mah, hehe” jawab ku.
Sepasang mata ku ini kembali mencari-cari gadis tersebut. Pandangan ku tujukan ke Hall, ku temukan sekumpulan gadis ada di sana. Ku telaah satu-persatu, tapi tetap tak ku temukan gadis yang tadi kuperhatikan itu. “ah sudahlah nanti juga ketemu lagi koq kalo jodoh mah” fikir ku. Ketika memikirkan kata-kata itu, pandangan ku tertuju pada suatu bangunan yang ada di belakang Hall. Ku perhatikan bangunan apa itu, ku coba ingat-ingat bangunan apa saja yang ada di belakang Hall sana jika dilihat dari sini. Mushola, ada mushola di belakang Hall sana. “Astagfirullah, saya belum shalat”, sekarang masi pukul 13.29 siang, masih ada waktu. Akhirnya ku putuskan tuk memutuskan perbincangan, aku minta izin dan segera beranjak menuju moshola itu. ku lakukan shalat di sana dengan khusuk.
Setelah selesai berdoa, ku segera pergi beranjak dari mushola dan mencoba tuk mencari teman-lama ku yang mungkin ada di sana. Ku dapati seorang teman yang sedang berdiri sedikit agak jauh dari pintu masuk Hall sekolah. ku sapa dan ku hampiri teman ku yang satu ini, sedikit perbincangan yang isinya tentang kabar dia kan menghilangkan rasa kaku yang ada diantara kita. tiba-tiba pandangan ku terasa ingin tertuju ke arah pintu masuk Hall, ku alihkan pandangan dan ku dapati gadis yang memperhatikan ku tadi sedang keluar dari Hall. “Itu dia”, sungguh dia cantik, putih warna kulitnya seakan-akan memutihkan isi jiwa yang hitam. Ku perhatikan dirinya yang sedang berjalan menuju pohon yang ada di depan pintu masuk sekolah ku.
Dia menatap ku, ah dia melihat ku, tampa sadar pandangan ku sedikit ku alihkan ke hadapan temanku. Aku sedikit malu, karena memang aku pemalu. Dia terus berjalan, diri ku yang pura-pura tak melihatnya membiarkannya lewat begitu saja.
Bersambung........
Thursday, January 8, 2009
Friday, January 2, 2009
Bogor, 2 januari 2008
Sekarang aku iri, demi Allah aku iri!! Melihat orang tersenyum..... Ingin sekali, sungguh ingin ku rampas senyuman itu tuk mengisi semua senyuman ku yang tlah direbut oleh suatu kebodohan.
Bodoh sungguh Bodoh, baik Iqbal ataupun kau. Bodoh, Kenapa tidak bilang terlebih dahulu semuanya? Bodoh, kenapa terbawa emosi? Bodoh! Karena kebodohan semua sakit ini tercipta.
Sungguh Heran, Aku benar-benar heran!! kenapa kau ambil, kau pegang dan kau tusukan beribu-ribu pisau ke dalam dada kita. Kau sudah tahu; Aku, kau, dan semua kan terluka. Sakit!! Sungguh sakit!! Kau tahu rasanya perih? Aku mengerti sangat, sebab itu yang ku rasakan sekarang, tapi kau? Kurasa kau lebih mengerti 3x Lipat dari ku.
Aku kan cepat bangkit! Tapi kau? Bagaimana dengan kau? Kurasa kau butuh 3x lipat waktu lebih dari ku. Kau habiskan banyak waktu gara-gara sedikit masalah yang kecil, Bagaimana dengan ini? Rapuh.... tlah ku lihat rapuh di dalam. Aku Kuat! Tapi kau? Aku khawatir.... sungguh khawatir....
Sayang, Izinkan aku panggil kau dgn sebutan itu sekali lagi saja. Maaf, maaf, ku tlah terbakar bara amarah. Bias semua pandangan diri saat itu, sekarang dan sekarang. Terasa sulit tuk tersenyum tapi mudah tuk tertawa. Aku sadar sungguh benar-benar sadar semua bukan sepenuhnya salah mu, sebagian pula milik ku.
Andai saja lebih lapang!!
Andai saja lebih Demokratis!!
Andai saja lebih Dewasa!!
Andai saja lebih Tenang!!
Pasti tidak begini jadinya.
Sungguh, aku tak harap balas dari mu. Aku tak harap hangat tubuh mu, Sungguh, aku tak ingin cinta yang tlah hancur ini terkotori nafsu. Ku hanya memberi, tak harap apapun dari mu. Ku tak mengekang, ku hanya ingin kau bebas. Sungguh sekarang ini ialah pengorbanan terbesarku untuk mu, tapi alangkah kejinya seseorang jika mengkotori ini semua.
Ku tak ingin ratapi apa yang tlah terjadi. Ku hanya dapat hadapi semua yang tlah hancur. Bisa saja ku korbankan harga diri ku tuk membangun semua agar kembali lagi seperti semua, tapi untuk apa? Sudah cukup harga diri yang ku korbankan.
Ku hargai semua keputusan mu seperti ku menghargai diri ku. Semua tlah terjadi, Aku tak akan lari, Aku tetap akan bertahan, Aku bukan pecundang! Semua tlah terjadi, jangan ratapi lagi. Ini keputusan mu, ini rasa sakit mu, ini kebodohan mu dan sebagian milik ku. Ku tak akan meminta tapi aku kan coba untuk menerima. Ku hanya ingin memulai semua dari awal tampa ratapi yang telah terjadi.
Iqbal.
Bodoh sungguh Bodoh, baik Iqbal ataupun kau. Bodoh, Kenapa tidak bilang terlebih dahulu semuanya? Bodoh, kenapa terbawa emosi? Bodoh! Karena kebodohan semua sakit ini tercipta.
Sungguh Heran, Aku benar-benar heran!! kenapa kau ambil, kau pegang dan kau tusukan beribu-ribu pisau ke dalam dada kita. Kau sudah tahu; Aku, kau, dan semua kan terluka. Sakit!! Sungguh sakit!! Kau tahu rasanya perih? Aku mengerti sangat, sebab itu yang ku rasakan sekarang, tapi kau? Kurasa kau lebih mengerti 3x Lipat dari ku.
Aku kan cepat bangkit! Tapi kau? Bagaimana dengan kau? Kurasa kau butuh 3x lipat waktu lebih dari ku. Kau habiskan banyak waktu gara-gara sedikit masalah yang kecil, Bagaimana dengan ini? Rapuh.... tlah ku lihat rapuh di dalam. Aku Kuat! Tapi kau? Aku khawatir.... sungguh khawatir....
Sayang, Izinkan aku panggil kau dgn sebutan itu sekali lagi saja. Maaf, maaf, ku tlah terbakar bara amarah. Bias semua pandangan diri saat itu, sekarang dan sekarang. Terasa sulit tuk tersenyum tapi mudah tuk tertawa. Aku sadar sungguh benar-benar sadar semua bukan sepenuhnya salah mu, sebagian pula milik ku.
Andai saja lebih lapang!!
Andai saja lebih Demokratis!!
Andai saja lebih Dewasa!!
Andai saja lebih Tenang!!
Pasti tidak begini jadinya.
Sungguh, aku tak harap balas dari mu. Aku tak harap hangat tubuh mu, Sungguh, aku tak ingin cinta yang tlah hancur ini terkotori nafsu. Ku hanya memberi, tak harap apapun dari mu. Ku tak mengekang, ku hanya ingin kau bebas. Sungguh sekarang ini ialah pengorbanan terbesarku untuk mu, tapi alangkah kejinya seseorang jika mengkotori ini semua.
Ku tak ingin ratapi apa yang tlah terjadi. Ku hanya dapat hadapi semua yang tlah hancur. Bisa saja ku korbankan harga diri ku tuk membangun semua agar kembali lagi seperti semua, tapi untuk apa? Sudah cukup harga diri yang ku korbankan.
Ku hargai semua keputusan mu seperti ku menghargai diri ku. Semua tlah terjadi, Aku tak akan lari, Aku tetap akan bertahan, Aku bukan pecundang! Semua tlah terjadi, jangan ratapi lagi. Ini keputusan mu, ini rasa sakit mu, ini kebodohan mu dan sebagian milik ku. Ku tak akan meminta tapi aku kan coba untuk menerima. Ku hanya ingin memulai semua dari awal tampa ratapi yang telah terjadi.
Iqbal.
Subscribe to:
Comments (Atom)
